Sabtu, 11 Juni 2011

Ketika Bintang Meninggalkan Bulan

17 Mei 2011

Aku menatap sendu laki-laki di depanku ini. Ia terbaring lemas dengan mata tertutup. Beberapa selang dan mesin-mesin yang aku tidak mengerti apa namanya itu di pasang di tubuhnya.Wajah ovalnya terlihat lelah. Dadanya naik turun pelan menandakan ia masih bernafas.

Aku terduduk di sisi tempat tidurnya. Ku raih perlahan jemarinya. Dingin. Ku genggam erat tangan kanannya. Seakan ingin memberikan seluruh kekuatanku untuknya. Kalau bisa pun, aku rela bertukar tempat dengannya sekarang. Aku rela…

Maret, 1998

Ibu menuntunku menuju ruang tamu. Aku yang saat itu belum genap 5 tahun, hanya menurut dengan kening berkerut. Ku dapati seorang wanita muda duduk di sofa ruang tamu. Di pangkuannya, duduk seorang anak laki-laki yang sedang tersenyum ramah padaku. Dengan canggung, aku balas senyumannya sambil mengikuti Ibu duduk di sofa yang berada di sofa yang mereka duduki.

“Bulan, ini Tante Manda. Kamu masih ingat?” suara lembut Ibu bertanya padaku.

Aku menatap wanita itu. Ia tersenyum. Aku mencermatinya, mencoba mengingat siapa dia. Tapi setelah beberapa saat, aku menggeleng pelan menjawab bahwa aku gagal mengingat siapa wanita bernama Manda itu.

Ibu tersenyum, “Tante Manda ini teman dekat Ibu dari dulu. Dulu, Ibu dan Tante Manda satu ruangan saat Ibu melahirkan kamu.”

Aku mengangkat alis dan mengernyitkannya. Satu ruangan?

“Tante Manda baru pindah dan sekarang tinggal di rumah sebelah. Jadi sekarang kamu bisa punya teman. Tuh, anaknya tante Manda,” ucap Ibu sambil menunjuk anak laki-laki tadi.

Aku sedikit melirik ke arahnya. Ia kembali melemparkan senyuman ramah membuatnya makin terlihat manis. Mata bulat beninganya berbinar cerah. Aku yakin, dia anak yang baik dan bersahabat. Wajah ovalnya saja terlihat selalu tersenyum ceria.

“Dia lahirnya hampir di waktu yang sama seperti kamu. Mungkin hanya berbeda beberapa menit. Dan kalian juga lahir di ruangan yang sama. Ibu dan Tante Manda juga sepakat memberi nama kalian dengan nama yang saling berhubungan,” jelas Ibu di akhiri dengan senyuman lembut khas Ibuku itu.

Aku makin mengerutkan kening sambil menatap Ibu. Tapi Ibu malah menyuruhku berkenalan dengan anak laki-laki itu. Aku diam sesaat, tapi menurut dan kembali menoleh pada anak laki-laki yang juga sedang menatapku itu.

Aku berdehem kecil, lalu menjulurkan tangan ke arahnya, “Bulan,” ucapku nama awalku.

Ia membalas tanganku sambil tersenyum, “Bintang.”

Juli, 2005

”BULAAANN!!!”

”Iya! Sebentar!!!” balasku sambil berlari keluar.

Ku lihat, ia tersenyum lebar di depan pagar rumahku dengan atribut MOS lengkap. Hari ini memang hari pertama MOS SMP kami.

”Bisa kan nggak usah teriak? Kayak di hutan aja,” gerutuku kesal sambil mulai berjalan.

Ia tertawa, lalu memandangi rambutku yang di ikat dua, syarat dari MOS kali ini.

”Eh, kamu lucu deh kalau di kuncir gitu,” komentarnya geli sambil memegang pita merah yang mengikat rambutku.

Aku hanya mendengus sambil terus berjalan. Dengan jahilnya, ia menarik rambutku sambil tertawa. Aku mengaduh, lalu menatapnya geram. Ia makin tertawa, lalu segera berlari menghindar.

”BINTAAANG!!!”

Akhir 2009

Hari ini aku dan dia berlari dari sekolah menuju rumah dengan seragam yang sudah basah karena air hujan. Ia menarik tanganku untuk mengikutinya bermain di tengah hujan. Sekolah kami memang tidak jauh dari rumah. Jadi kami selalu pulang berjalan kaki berdua. Tapi kini hujan menemani. Hujan hari ini seakan bersahabat. Tidak ada petir ataupun suara guntur. Awan gelap pun tidak menyeramkan seperti biasa. Hujan seakan ikut bermain bersama kami.

“Bulan, kamu tahu nggak kenapa aku suka hujan?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh, lalu menggeleng. Ia tersenyum, lalu mengadah wajah ke arah langit sambil memejamkan mata. Membiarkan rintik air dari awan itu membasahi wajahnya.

“Kalau berjalan di bawah hujan, aku bisa nangis sepuasnya. Nggak akan ada yang tahu kalau aku nangis. Karena air mataku akan menyatu dengan air hujan…”

Aku mengangkat alis. Aneh. Ada yang berbeda darinya. Kalimatnya itu. Pilihan kata yang jarang di pakainya. Dan kenapa aku merasakan perasaan tidak enak saat ia berkata seperti itu? Kenapa? Atau… Ada apa?

“Nangis aja kok pake’ ada hujan segala,” sahutku meledek.

Ia tertawa, “Aku itu udah SMA. Udah mau jadi seorang pria. Mana mungkin aku nunjukin air mataku. Itu berartikan aku lemah.”

Aku terdiam. Aku baru sadar, semenjak kelas 6 SD, aku memang tidak pernah melihatnya menangis lagi. Ia selalu saja mencoba tersenyum kalau sudah mendapat masalah ataupun cobaan. Jadi… selama ini ia selalu menangis bersama hujan?

“Bintang… Akukan sahabatmu. Kamu bisakan nangis di pundakku. Nggak perlu hujan segala,” ucapku tulus, “Dan juga… Memang apa yang kamu tangisin?”

Ia menghela nafas, tapi tidak menjawab dan hanya tersenyum. Aku kembali mengerutkan kening menatapnya dari samping. Aneh. Itu bukan senyumannya. Aku hafal. Sangat hafal. Garis wajahnya yang terlihat selalu tersenyum itu berubah. Binar cerah yang selalu ku temukan di sepasang matanya mendadak hilang. Tidak. Ia tidak sedang tersenyum. Tapi hanya menarik kedua ujung bibirnya. Seakan menyembunyikan sesuatu. Ada apa?

“Bulan! Rumahmu udah deket tuh! Yang pertama kali sampai di rumahmu, harus traktir!” ajaknya tiba-tiba.

Aku menganga heran. Tapi tanpa aba-aba, ia segera berlari menuju rumahku.

“Eh, Bintang!!!” panggilku segera berlari mengejarnya di temani hujan yang terus mengguyur tubuhku.

Awal 2010

Aku membuka mata perlahan. Mentari pagi seakan menyapaku dengan sinarnya yang datang melalui kaca jendela ruangan putih itu. Aku melirik tangan kiriku. Oh God… Ternyata semalam itu bukan mimpi. Infus ini memang terpasang semenjak semalam. Maag ku kembali kumat. Dan tadi malam Ibu segera membawaku ke UGD karena aku sempat pingsan. Ya beginilah aku kini. Dengan infus yang terpasang di tangan kiriku dan tubuh lemasku yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit ini.

Aku mendesah pelan dan menoleh saat mendengar suara pintu terbuka.

“Sudah bangun?” Tanya Ibu sambil melangkah masuk. Ia lalu berjalan ke ujung tempat tidurku. Aku bisa melihat troli yang berisikan makanan untuk sarapan pagi ini.

“Bu… Bintang belum datang?” tanyaku lemas. Entah mengapa aku sangat membutuhkannya sekarang.

Ku lihat, Ibu seperti tersentak kaget. Ia menatapku sejenak, tapi kemudian kembali melukiskan senyum lembut di wajahnya, “Belum… mungkin besok.”

“Besok? Kenapa besok?” protesku dengan suara parau.

Ibu mendesah, “Bintang ada urusan keluarga. Pagi-pagi sudah dia dan keluarganya pergi. Tapi dia dan Tante Manda titip salam buat kamu. Katanya cepat sembuh.”

Aku mendecak dan membuang wajah kesal, “Bulankan mau Bintang ada di sini Bu. Temenin Bulan…” ucapku lirih.

“Bulan… Kalau bisa Bintang juga pasti ada di sini. Tapi…” kalimat Ibu berhenti. Ibu menghela nafas, lalu melanjutkan, “Sekarang kamu sarapan dulu aja ya. Kan ada Ibu di sini…”

Aku menarik nafas, dan menghembuskannya perlahan. Merasa kecewa. Kenapa dia tidak ada saat aku sangat membutuhkannya?

***

Air mataku hampir saja menetes saat berkemas meninggalkan kamar inap rumah sakit ini. Aku sudah di rawat empat hari di sini. Dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Malam inipun, hanya ada aku, Ibu, serta Ayah. Ibu dan Ayah sedang keluar ruangan mengurus sesuatu. Entah apa. Dan kini, hanya ada aku sendiri.

Aku menghela nafas, lalu melangkah pelan menuju jendela ruangan ini. Ku buka perlahan kaca jendela. Langit malam tidak bersih kali ini. Ribuan bintang bertabur di sana. Dan bulan juga ikut hadir malam ini. Indah. Tapi kenapa aku tidak seberuntung bulan itu? Ia tidak sendiri. Ia di temani para bintang. Sedangkan aku? Kini aku hanya sendiri. Aku hanya Bulan yang sendiri, tanpa Bintang di sisiku…. Di mana dia? Kalau begini, apa gunanya seorang sahabat? Sahabat itu selalu ada kalau aku sedang jatuh seperti ini. Aku butuh dia...

Suara pintu di buka membuatku tersadar dari lamunanku. Aku tidak menoleh. Itu pasti Ibu. Suara langkah kaki mendekat mulai terdengar. Aku hanya diam sambil terus menatap langit malam.

“Bulan…”

Mataku melebar. Aku menoleh ke kanan, mendapati dirinya yang kini berdiri di sampingku. Ia tersenyum tipis.

“Maaf… aku baru bisa datang….” ucapnya menyesal.

Aku menghembuskan nafas keras sambil membuang pandangan ke langit kembali, “Kemana aja kamu? Aku butuh kamu. Tapi kenapa kamu nggak ada?” protesku dengan suara lirih.

“Maaf. Aku tahu aku salah. Maafin aku Bulan…” ucapnya dengan suara memohon.

“Kenapa kamu nggak pernah telpon aku? Atau hubungi aku? Aku sangat butuh kamu Bintang…” ucapku bergetar.

Ia menghela nafas sambil menunduk. Tapi kemudian ia menoleh padaku sambil tersenyum, “Aku udah titip salam kok sama bintang di langit. Aku udah nyuruh mereka semua untuk jaga kamu kalau aku nggak ada. Tenang, Lan…. Aku selalu ada buat kamu kok. Kalau aku nggak bisa ada di samping kamu, kamu lihat aja bintang-bintang di langit. Semoga mereka bakal bisa jadi penggantiku nanti…”

Aku tersentak kaget, lalu menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. Kenapa aku merasa ada yang aneh dari kalimat terakhirnya? Entah apa. Tapi aku merasa kesal dan sedih mendengar ucapannya. Aneh.

“Aku sama kayak bintang di langit. Mereka kadang nampakin diri, tapi terkadang juga nggak kelihatan. Tapi kamu harus tahu, mereka selalu ada di sana…” ucapnya sambil menatap taburan bintang di langit.

Aku makin mengerutkan kening, “Kamu ngomong apa sih Bintang?”

Ia tersenyum kecil, “Udahlah. Nggak usah di bahas. Ayo kemasi barangmu,” ajaknya lalu berbalik.

Aku masih mengerutkan kening. Perlahan, aku bisa merasakan perasaan aneh menghantuiku.

Mei 2011

Aku menunduk sambil memejamkan mataku. Takut akan apa yang terjadi selanjutnya. Ia berdiri di sampingku. Menggenggam erat tanganku dan juga memejamkan matanya. Kami berdiri di lapangan sekolah. Menunggu pengumuman kelulusan. Di mana saat kami akan melepaskan seragam sekolah. Dan beranjak menjadi seorang mahasiswa!

Sesuai dugaannya, ternyata benar. Tahun ini sekolahku lulus 100%. Kami semua bersorak gembira, bahkan ada yang sampai menangis haru. Aku memeluknya. Senang sekali. Ia juga balas pelukannku sambil tertawa riang.

Esok malamnya, aku mengadakan syukuran kecil atas keberhasilan ini. Sekaligus merayakan ulang tahunku yang ke 18. Hari ini, biasanya ia selalu datang pagi benar, membangunkanku dan memberikan kejutan ulang tahun. Padahal ia juga berulang tahun di hari yang sama. Kami lalu merayakannya berdua. Tapi tahun ini, entah kenapa aku belum melihatnya. Kemana dia? Sampai acara di mulai seperti inipun dia belum datang.

Aku menatap kesal jam dinding di ruang tamuku. Kemana dia? Kue ulang tahun sudah hadir di tengah ruangan. Lilin angka 18 pun sudah menunggu untuk di nyalakan. Tapi dia belum datang. Aku mana mungkin mau meniup lilin itu sendiri tanpa dia yang biasanya selalu bersamaku meniup lilin ulang tahun.

Ibu memanggilku, menyuruhku untuk bergegas menuju tengah ruangan, karena teman-teman yang lain sudah menunggu. Aku melengos, dan dengan langkah gontai berjalan dari pintu menuju tengah ruangan. Aku menatap teman-temanku yang tersenyum padaku. Aku mendesah, lalu menatap lilin yang mulai di nyalakan oleh Ibu.

“Bu… tunggu Bintang sebentar lagi,” pintaku berbisik.

Ibu tersentak, lalu menoleh ke arahku dengan alis terangkat. Aku sedikit mengerutkan kening melihat ekspresi wajah Ibu yang asing. Yang tidak pernah ku temukan sebelumnya.

“BULAN!!!”

Suara itu membuatku segera menoleh dengan senang. Dia datang!

Ia berlari dengan nafas terengah-engah menuju tengah ruangan. Aku tersenyum ke arahnya. Tapi ku lihat… ada yang berbeda dari penampilannya kali ini. Dan... kenapa wajahnya terlihat pucat?

“Bintang? Kenapa kamu…” kalimat Ibu terhenti saat mataku bertemu mata Ibu. Ibu terdiam. Seakan tidak ingin aku mendengar kalimat lanjutannya.

Ia tersenyum, lalu berdiri di sampingku. Nafasnya masih terengah-engah, “Kamu mau tiup lilin tanpa aku?”

Aku mencibir kesal, ”Aku nunggu kamu dari tadi!”

Ia tersenyum. Lalu selanjutnya, Ibu menyuruh kami meniup lilin. Kami menurut. Aku dan dia memejamkan mata kompak di depan lilin yang menyala itu. Mengucapkan harapan masing-masing. Saat membuka mata, dengan serempak aku dan dia meniup lilin angka 18 itu.

BUKK!!!

Aku terlonjak kaget, lalu menatapnya yang kini sudah terjatuh dan tergeletak lemas di sampingku.

“Bintang!”

***

Ya. Inilah sekarang. Aku dan dia. Berdua. Di ruangan serba putih ini. Dengan dia yang kini terbaring lemas dengan wajah lelah dan mata tertutup. Dan aku yang duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya.

Aku yakin ini mimpi buruk. Pasti mimpi buruk. Mana mungkin ini terjadi. Ibu dan Tante Manda baru saja menjelaskan semua. Bintang mengidap kanker darah semenjak kelas 1 SMA. Dan semua itu di rahasiakan dariku! Jadi selama ini hanya aku yang tidak tahu apapun!

Aku ingin marah dan mengamuk, tapi tenagaku sudah habis karena terus menangis. Bagaimana bisa ini terjadi? Bintang. Seorang Bintang. Yang selalu tersenyum ceria dan menjahiliku, ternyata memiliki penyakit mematikan seperti ini. Selama ini ia menghilang itu karena berobat dan terus melakukan cek darah. Bintang yang meminta agar Ibu dan Tante Manda tidak memberitahukan ini padaku. Ia tidak ingin melihatku sedih. Bodoh! Kalau begini, aku beratus kali menjadi lebih sedih.

Aku menyesal, sangat menyesal. Padahal selama ini aku terus menuntutnya agar selalu di sampingku. Agar selalu menjagaku. Selalu di sampingku kalau aku membutuhkannya. Aku menuntutnya macam-macam. Tapi dia? Yang ternyata lebih lemah dari aku, tidak pernah sedikitpun mengeluh ataupun memaksaku selalu menemaninya. Dia tidak pernah melakukan itu. Malah, ia selalu tersenyum dan menyemangatiku. Harusnya itu yang aku lakukan padanya! Aku bodoh!

“Bulan…”

Sebuah suara parau membuatku mendongak. Ia tersadar. Menatap wajahku yang sudah kuyu dan basah air mata. Ia tersenyum getir, lalu mengusap pipiku yang basah.

“Makasih ya. Selama ini kamu menjadi sahabat terbaikku…” ucapnya lemas.

Air mataku makin mengalir deras. Ku genggam erat tangannya. Tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menyahut perkataannya itu.

“Aku bintang… Dan bakal jadi bagian di langit. Aku bakal jaga kamu dari sana kok…” ucapnya lemah. Ia lalu tersenyum pahit, “Kamu harus tersenyum walau nggak ada aku ya…”

Aku menunduk, membiarkan tangisku meledak. Makin ku genggam jemarinya yang terasa dingin.

“Bulan… Aku mau tidur lagi. Bilang sama Ibu kamu dan Mama aku ya. Aku mau tidur dulu…” ucapnya lirih.

Aku segera mendongak, “Bintang!”

Ia mendecak, lalu menaruh telunjuknya di depan mulut, “Ssssttt… Aku mau tidur dulu. Jangan ribut. Dan jangan bangunin aku dulu ya. Aku benar-benar udah capek…”

Aliran bening dari mataku makin deras. Tapi aku hanya diam sambil menatapnya. Ia tersenyum, lalu dengan perlahan menutup sepasang matanya. Aku menangis kembali. Mungkin persediaan air mataku terlalu banyak. Karena sedari tadi menangis tapi tidak berhenti juga ia mengalir keluar.

Setelah beberapa lama, aku mencermati Bintang. Ada yang berbeda. Dadanya tidak naik turun seperti tadi. Ku raba nadinya, berharap setengah mati aku bisa menemukan detak jantungnya. Nihil. Aku tidak merasakan apapun. Dengan panik, aku segera memanggil dokter.

***

Dia pergi. Benar-benar telah pergi. Meninggalkanku sendiri. Di sini. Hanya sendiri.

Aku mendongak, menatap langit malam. Mengamati bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. Aku mendapati bintang paling terang di langit. Yang berada di samping bulan. Aku yakin itu dia.

Aku mencoba melemparkan senyum, berharap menunjukkan padanya bahwa aku kuat tanpanya. Karena aku yakin, kalau ia tahu kondisiku sebenarnya, ia pasti akan sedih di sana. Dan sekarang aku mencoba menikmati hariku dengan senyuman, sama seperti apa yang ia lakukan dulu. Tapi aku percaya satu hal, walaupun ia tidak ada, ia selalu ada di sana… tersenyum bersamaku.

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Astri Maharani

Tempat, tanggal lahir : Balikpapan, 13 MEI 1996

Sekolah : SMP Negeri 3 Balikpapan

Alamat : Jl. Dr soetomo, No.20

Sumber Rejo, Balikpapan

Kode Pos : 76124

Pengalaman menulis : Mulai menulis sastra semenjak SD,

dan mulai gemar saat memasuki bangku SMP. Semenjak satu tahun lalu, menjadi seorang penulis Fan Fiction di komunitas Icilovers. Memiliki sejumlah cerbung, cerpen, dan naskah novel.

No. Hp : 085654912883

Jumat, 10 Juni 2011

Ketika Bintang Meninggalkan Bulan

17 Mei 2011

Aku menatap sendu laki-laki di depanku ini. Ia terbaring lemas dengan mata tertutup. Beberapa selang dan mesin-mesin yang aku tidak mengerti apa namanya itu di pasang di tubuhnya.Wajah ovalnya terlihat lelah. Dadanya naik turun pelan menandakan ia masih bernafas.

Aku terduduk di sisi tempat tidurnya. Ku raih perlahan jemarinya. Dingin. Ku genggam erat tangan kanannya. Seakan ingin memberikan seluruh kekuatanku untuknya. Kalau bisapun, aku rela bertukar tempat dengannya sekarang. Aku rela…

Maret, 1998

Ibu menuntunku menuju ruang tamu. Aku yang saat itu belum genap 5 tahun, hanya menurut dengan kening berkerut. Ku dapati seorang wanita muda duduk di sofa ruang tamu. Di pangkuannya, duduk seorang anak laki-laki yang sedang tersenyum ramah padaku. Dengan canggung, aku balas senyumannya sambil mengikuti Ibu duduk di sofa yang berada di sofa yang mereka duduki.

“Bulan, ini Tante Manda. Kamu masih ingat?” suara lembut Ibu bertanya padaku.

Aku menatap wanita itu. Ia tersenyum. Aku mencermatinya, mencoba mengingat siapa dia. Tapi setelah beberapa saat, aku menggeleng pelan menjawab bahwa aku gagal mengingat siapa wanita bernama Manda itu.

Ibu tersenyum, “Tante Manda ini teman dekat Ibu dari dulu. Dulu, Ibu dan Tante Manda satu ruangan saat Ibu melahirkan kamu.”

Aku mengangkat alis dan mengernyitkannya. Satu ruangan?

“Tante Manda baru pindah dan sekarang tinggal di rumah sebelah. Jadi sekarang kamu bisa punya teman. Tuh, anaknya tante Manda,” ucap Ibu sambil menunjuk anak laki-laki tadi.

Aku sedikit melirik ke arahnya. Ia kembali melemparkan senyuman ramah membuatnya makin terlihat manis. Mata bulat beninganya berbinar cerah. Aku yakin, dia anak yang baik dan bersahabat. Wajah ovalnya saja terlihat selalu tersenyum ceria.

“Dia lahirnya hampir di waktu yang sama seperti kamu. Mungkin hanya berbeda beberapa menit. Dan kalian juga lahir di ruangan yang sama. Ibu dan Tante Manda juga sepakat memberi nama kalian dengan nama yang saling berhubungan,” jelas Ibu di akhiri dengan senyuman lembut khas Ibuku itu.

Aku makin mengerutkan kening sambil menatap Ibu. Tapi Ibu malah menyuruhku berkenalan dengan anak laki-laki itu. Aku diam sesaat, tapi menurut dan kembali menoleh pada anak laki-laki yang juga sedang menatapku itu.

Aku berdehem kecil, lalu menjulurkan tangan ke arahnya, “Bulan,” ucapku menyebutkan nama awalku.

Ia membalas tanganku sambil tersenyum, “Bintang.”

Akhir 2009

Aku berdiri menatap tetesan hujan yang turun membasahi sekolahku. Aku melengos sambil bersandar di dinding kelasku yang sudah kosong. Ah! Kenapa harus turun hujan sih?! Dan kenapa juga aku harus kebagian piket saat pulang? Huh!

“BULAN!”

Suara serak yang mulai terdengar sedikit berat itu membuatku menoleh. Senyumku merekah melihat ia datang, “Bintang!”

Ia tersenyum dan berdiri di sampingku, “Kok masih di sini?”

“Tadi harus piket dulu,” jawabku setengah mengeluh, “Kamu? Kok belum pulang?”

“Tadi ada yang ketinggalan,” jawabnya, “Pulang bareng yuk!”

“masih hujan…” sahutku sambil kembali menatap hujan siang itu.

“Ya udah, kita main hujan aja!” ajaknya senang sambil menarik tanganku.

“Eh, Bintang!” aku segera menahannya dan kembali menarik tanganku, “nggak mau!” tolakku tegas.

Raut wajahnya berubah. Ia lalu menatapku sambil mendengus, “Ayolah Bulan…”

“Kita itu udah SMA! Kok masih main hujan. Kayak anak kecil aja,” tukasku sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Ia mencibir, tapi kemudian menatapku memelas, “Bulan… Sekali aja deh. Sekalian kita pulang. Rumah nggak jauh dari sini kan?” ajaknya masih berusaha membujukku.

Aku terdiam. Menimang sejenak. Em… Kalau pulang basah kuyup, pasti di marahi Ibu. Tapi kalau berdua dengan Bintang, Ibu pasti hanya akan mengomel sebentar. Tapi… kalau ada yang lihat gimana? Kan malu. Pakai rok abu-abu dan seragam berlambangkan osis SMA, tapi masih saja berlari-lari di tengah hujan.

“Kelamaan!” ucapnya tiba-tiba dan segera menarik tanganku.

Aku memekik kaget, tapi tidak bisa mengelak karena ia menarikku secara mendadak.

***

Sepanjang jalan, aku dan dia terus saja tertawa bersama. Aku sampai lupa dengan gengsi ku tadi. Aku dan dia sekarang bahkan terlihat seperti sepasang anak SD yang sedang bermain.

Hujan hari ini seakan bersahabat. Tidak ada petir ataupun suara guntur. Awan gelap pun tidak menyeramkan seperti biasa. Hujan seakan ikut bermain bersama kami.

“Bulan, kamu tahu nggak kenapa aku suka hujan?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh, lalu menggeleng. Ia tersenyum, lalu mengadah wajah ke arah langit sambil memejamkan mata. Membiarkan rintik air dari awan itu membasahi wajahnya.

“Kalau berjalan di bawah hujan, aku bisa nangis sepuasnya. Nggak akan ada yang tahu kalau aku nangis. Karena air mataku akan menyatu dengan air hujan…”

Aku mengangkat alis. Aneh. Ada yang berbeda darinya. Kalimatnya itu. Pilihan kata yang jarang di pakainya. Dan kenapa aku merasakan perasaan tidak enak saat ia berkata seperti itu? Kenapa? Atau… Ada apa?

“Nangis aja kok pake’ ada hujan segala,” sahutku meledek.

Ia tertawa, “Aku itu udah SMA. Udah mau jadi seorang pria. Mana mungkin aku nunjukin air mataku. Itu berartikan aku lemah.”

Aku terdiam. Aku baru sadar, semenjak kelas 6 SD, aku memang tidak pernah melihatnya menangis lagi. Ia selalu saja mencoba tersenyum kalau sudah mendapat masalah ataupun cobaan. Jadi… selama ini ia selalu menangis bersama hujan?

“Bintang… Akukan sahabatmu. Kamu bisakan nangis di pundakku. Nggak perlu hujan segala,” ucapku tulus, “Dan juga… Memang apa yang kamu tangisin?”

Ia menghela nafas, tapi tidak menjawab dan hanya tersenyum. Aku kembali mengerutkan kening menatapnya dari samping. Aneh. Itu bukan senyumannya. Aku hafal. Sangat hafal. Garis wajahnya yang terlihat selalu tersenyum itu berubah. Binar cerah yang selalu ku temukan di sepasang matanya mendadak hilang. Tidak. Ia tidak sedang tersenyum. Tapi hanya menarik kedua ujung bibirnya. Seakan menyembunyikan sesuatu. Ada apa?

“Bulan! Rumahmu udah deket tuh! Yang pertama kali sampai di rumahmu, harus traktir!” ajaknya tiba-tiba.

Aku menganga heran. Tapi tanpa aba-aba, ia segera berlari menuju rumahku.

“Eh, Bintang!!!” panggilku segera berlari mengejarnya di temani hujan yang terus mengguyur tubuhku.

Awal 2010

Aku membuka mata perlahan. Mentari pagi seakan menyapaku dengan sinarnya yang datang melalu kaca jendela ruangan putih itu. Aku melirik tangan kiriku. Oh God… Ternyata semalam itu bukan mimpi. Infus ini memang terpasang semenjak semalam. Maag ku kembali kumat. Dan tadi malam Ibu segera membawaku ke UGD karena aku sempat pingsan. Ya beginilah aku kini. Dengan infus yang terpasang di tangan kiriku dan tubuh lemasku yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit ini.

Aku mendesah pelan dan menoleh saat mendengar suara pintu terbuka.

“Sudah bangun?” Tanya Ibu sambil melangkah masuk. Ia lalu berjalan ke ujung tempat tidurku. Aku bisa melihat troli yang berisikan makanan untuk sarapan pagi ini.

“Bu… Bintang belum datang?” tanyaku lemas. Entah mengapa aku sangat membutuhkannya sekarang.

Ku lihat, Ibu seperti tersentak kaget. Ia menatapku sejenak, tapi kemudian kembali melukiskan senyum lembut di wajahnya, “Belum… mungkin besok.”

“Besok? Kenapa besok?” protesku dengan suara parau.

Ibu mendesah, “Bintang ada urusan keluarga. Pagi-pagi sudah dia dan keluarganya pergi. Tapi dia dan Tante Manda titip salam buat kamu. Katanya cepat sembuh.”

Aku mendecak dan membuang wajah kesal, “Bulankan mau Bintang ada di sini Bu. Temenin Bulan…” ucapku lirih.

“Bulan… Kalau bisa Bintang juga pasti ada di sini. Tapi…” kalimat Ibu berhenti. Ibu menghela nafas, lalu melanjutkan, “Sekarang kamu sarapan dulu aja ya. Kan ada Ibu di sini…”

Aku menarik nafas, dan menghembuskannya perlahan. Merasa kecewa. Kenapa dia tidak ada saat aku sangat membutuhkannya?

***

Air mataku hampir saja menetes saat berkemas meninggalkan kamar inap rumah sakit ini. Aku sudah di rawat empat hari di sini. Dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Malam inipun, hanya ada aku, Ibu, serta Ayah. Ibu dan Ayah sedang keluar ruangan mengurus sesuatu. Entah apa. Dan kini, hanya ada aku sendiri.

Aku menghela nafas, lalu melangkah pelan menuju jendela ruangan ini. Ku buka perlahan kaca jendela. Langit malam tidak bersih kali ini. Ribuan bintang bertabur di sana. Dan bulan juga ikut hadir malam ini. Indah. Tapi kenapa aku tidak seberuntung bulan itu? Ia tidak sendiri. Ia di temani para bintang. Sedangkan aku? Kini aku hanya sendiri. Aku hanya Bulan yang sendiri, tanpa Bintang di sisiku….

Suara pintu di buka membuatku tersadar dari lamunanku. Aku tidak menoleh. Itu pasti Ibu. Suara langkah kaki mendekat mulai terdengar. Aku hanya diam sambil terus menatap langit malam.

“Bulan…”

Mataku melebar. Aku menoleh ke kanan, mendapati dirinya yang kini berdiri di sampingku. Ia tersenyum tipis.

“Maaf… aku baru bisa datang….” ucapnya menyesal.

Aku menghembuskan nafas keras sambil membuang pandangan ke langit kembali, “Aku butuh kamu. Tapi kenapa kamu nggak ada?” protesku dengan suara lirih.

“Maaf. Aku tahu aku salah. Maafin aku Bulan…” ucapnya dengan suara memohon.

“Kenapa kamu nggak pernah telpon aku? Atau hubungi aku? Aku sangat butuh kamu Bintang…” ucapku bergetar.

Ia menghela nafas sambil menunduk. Tapi kemudian ia menoleh padaku sambil tersenyum, “Aku udah titip salam kok sama bintang di langit. Aku udah nyuruh mereka semua untuk jaga kamu kalau aku nggak ada. Tenang, Lan…. Aku selalu ada buat kamu kok. Kalau aku nggak bisa ada di samping kamu, kamu lihat aja bintang-bintang di langit. Semoga mereka bakal bisa jadi penggantiku nanti…”

Aku tersentak kaget, lalu menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. Kenapa aku merasa ada yang aneh dari ucapannya? Entah apa. Tapi aku merasa kesal dan sedih mendengar ucapannya. Aneh.

“Aku sama kayak bintang di langit. Mereka kadang nampakin diri, tapi terkadang juga nggak kelihatan. Tapi kamu harus tahu, mereka selalu ada di sana…” ucapnya sambil menatap taburan bintang di langit.

Aku makin mengerutkan kening, “Kamu ngomong apa sih Bintang?”

Ia tersenyum kecil, “Udahlah. Nggak usah di bahas. Ayo kemasi barangmu,” ajaknya lalu berbalik.

Aku masih mengerutkan kening. Perlahan, aku bisa merasakan perasaan aneh menghantuiku.

Mei 2011

Aku menunduk sambil memejamkan mataku. Takut akan apa yang terjadi selanjutnya. Ia berdiri di sampingku. Menggenggam erat tanganku dan juga memejamkan matanya. Kami berdiri di lapangan sekolah. Menunggu pengumuman kelulusan. Di mana saat kami akan melepaskan seragam sekolah. Dan beranjak menjadi seorang mahasiswa!

Sesuai dugaannya, ternyata benar. Tahun ini sekolahku lulus 100%. Kami semua bersorak gembira, bahkan ada yang sampai menangis haru. Aku memeluknya. Senang sekali. Ia juga balas pelukannku sambil tertawa riang.

Esok malamnya, aku mengadakan syukuran kecil atas keberhasilan ini. Sekaligus merayakan ulang tahunku yang ke 18. Hari ini, biasanya ia selalu datang pagi benar, membangunkanku dan memberikan kejutan ulang tahun. Padahal ia juga berulang tahun di hari yang sama. Kami lalu merayakannya berdua. Tapi tahun ini, entah kenapa aku belum melihatnya. Kemana dia? Sampai acara di mulai seperti inipun dia belum datang.

Aku menatap kesal jam dinding di ruang tamuku. Kemana dia? Kue ulang tahun sudah hadir di tengah ruangan. Lilin angka 18 pun sudah menunggu untuk di nyalakan. Tapi dia belum datang. Aku mana mungkin mau meniup lilin itu sendiri tanpa dia yang biasanya selalu bersamaku meniup lilin ulang tahun.

Ibu memanggilku, menyuruhku untuk bergegas menuju tengah ruangan, karena teman-teman yang lain sudah menunggu. Aku melengos, dan dengan langkah gontai berjalan dari pintu menuju tengah ruangan. Aku menatap teman-temanku yang tersenyum padaku. Aku mendesah, lalu menatap lilin yang mulai di nyalakan oleh Ibu.

“Bu… tunggu Bintang sebentar lagi,” pintaku berbisik.

Ibu tersentak, lalu menoleh ke arahku dengan alis terangkat. Aku sedikit mengerutkan kening melihat ekspresi wajah Ibu yang sepertinya merasa bersalah.

“BULAN!!!”

Suara itu membuatku segera menoleh dengan senang. Dia datang!

Ia berlari dengan nafas terengah-engah menuju tengah ruangan. Aku tersenyum ke arahnya. Tapi ku lihat… ada yang berbeda dari penampilannya kali ini.

“Bintang? Kenapa kamu…” kalimat Ibu terhenti saat mataku bertemu mata Ibu. Ibu seakan tidak ingin aku tahu apa kalimat yang akan di lontarkannya.

Ia tersenyum, lalu berdiri di sampingku. Nafasnya masih terengah-engah, “Kamu mau tiup lilin tanpa aku?”

Aku tertawa kecil, “Nggaklah! Aku dari tadi nungguin kamu.”

Ia tersenyum. Lalu selanjutnya, Ibu menyuruh kami meniup lilin. Kami menurut. Aku dan dia memejamkan mata kompak di depan lilin yang menyala itu. Mengucapkan harapan masing-masing. Saat membuka mata, dengan serempak aku dan dia meniup lilin angka 18 itu.

BUKK!!!

Aku terlonjak kaget, lalu menatapnya yang kini sudah pingsan di sampingku.

“Bintang!”

***

Ya. Inilah sekarang. Aku dan dia. Berdua. Di ruangan serba putih ini. Dengan dia yang kini terbaring lemas dengan wajah lelah dan mata tertutup. Dan aku yang duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya.

Aku yakin ini mimpi buruk. Pasti mimpi buruk. Mana mungkin ini terjadi. Ibu dan Tante Manda baru saja menjelaskan semua. Bintang mengidap kanker darah semenjak kelas 1 SMA. Dan semua itu di rahasiakan dariku! Jadi selama ini hanya aku yang tidak tahu apapun!

Aku ingin marah dan mengamuk, tapi tenagaku sudah habis karena terus menangis. Bagaimana bisa ini terjadi? Bintang. Seorang Bintang. Yang selalu tersenyum ceria dan menjahiliku, ternyata memiliki penyakit mematikan seperti ini. Selama ini ia menghilang itu karena berobat dan terus melakukan cek darah. Bintang yang meminta agar Ibu dan Tante Manda tidak memberitahukan ini padaku. Ia tidak ingin melihatku sedih. Bodoh! Kalau begini, aku beratus kali menjadi lebih sedih.

Aku menyesal, sangat menyesal. Padahal selama ini aku terus menuntutnya agar selalu di sampingku. Agar selalu menjagaku. Selalu di sampingku kalau aku membutuhkannya. Aku menuntutnya macam-macam. Tapi dia? Yang ternyata lebih lemah dari aku, tidak pernah sedikitpun mengeluh ataupun memaksaku selalu menemaninya. Dia tidak pernah melakukan itu. Malah, ia selalu tersenyum dan menyemangatiku. Harusnya itu yang aku lakukan padanya! Aku bodoh!

“Bulan…”

Sebuah suara parau membuatku mendongak. Ia tersadar. Menatap wajahku yang sudah kuyu dan basah air mata. Ia tersenyum getir, lalu mengusap pipiku yang basah.

“Makasih ya. Selama ini kamu menjadi sahabat terbaikku…” ucapnya lemas.

Air mataku makin mengalir deras. Ku genggam erat tangannya. Tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menyahut perkataannya itu.

“Aku bintang… Dan bakal jadi bagian di langit. Aku bakal jaga kamu dari sana kok…” ucapnya lemah. Ia lalu tersenyum pahit, “Kamu harus tersenyum walau nggak ada aku ya…”

Aku menunduk, membiarkan tangisku meledak. Makin ku genggam jemarinya yang terasa dingin.

“Bulan… Aku mau tidur lagi. Bilang sama Ibu kamu dan Mama aku ya. Aku mau tidur dulu…” ucapnya lirih.

Aku segera mendongak, “Bintang!”

Ia mendecak, lalu menaruh telunjuknya di depan mulut, “Ssssttt… Aku mau tidur dulu. Jangan ribut. Dan jangan bangunin aku dulu ya. Aku benar-benar udah capek…”

Aliran bening dari mataku makin deras. Tapi aku hanya diam sambil menatapnya. Ia tersenyum, lalu dengan perlahan menutup sepasang matanya. Aku menangis kembali. Mungkin persediaan air mataku terlalu banyak. Karena sedari tadi menangis tapi tidak berhenti juga ia mengalir keluar.

Setelah beberapa lama, aku mencermati Bintang. Ada yang berbeda. Dadanya tidak naik turun seperti tadi. Ku raba nadinya, berharap setengah mati aku bisa menemukan detak jantungnya. Nihil. Aku tidak merasakan apapun. Dengan panik, aku segera memanggil dokter.

***

Dia pergi. Benar-benar telah pergi. Meninggalkanku sendiri. Di sini. Hanya sendiri.

Aku mendongak, menatap langit malam. Mengamati bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. Aku mendapati bintang paling terang di langit. Yang berada di samping bulan. Aku yakin itu dia.

Aku mencoba melemparkan senyum, berharap menunjukkan padanya bahwa aku kuat tanpanya. Karena aku yakin, kalau ia tahu kondisiku sebenarnya, ia pasti akan sedih di sana. Dan sekarang aku mencoba menikmati hariku dengan senyuman, sama seperti apa yang ia lakukan dulu. Tapi aku percaya satu hal, walaupun ia tidak ada, ia selalu ada di sana… tersenyum bersamaku.

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Astri Maharani

Tempat, Tanggal Lahir : Balikpapan, 13 Mei 2011

Sekolah : SMP Negeri 3 Balikpapan

Alamat : Jln. Dr. Soetomo, No. 20

Sumber Rejo, Balikpapan

Pengalaman Menulis : Mulai menulis sejak SD, dan makin

gemar saat memasuki SMP.

Semenjak satu tahun lalu menjadi

seorang penulis Fanfiction dalam

Komunitas Icilovers. Memiliki

sejumlah cerbung, cerpen, dan

naskah novel.

No. HP : 085654912883

Kamis, 09 Desember 2010

NAMA LENGKAP IDOLA CILIK

aku suka banget sama namanya IDOLA CILIK. ituloh, progam di RCTI yang mengasah bakat anak -anak berumur 7 tahun sampai 12 tahun. Dari jamannya icil 1, yang Kiki sebagai juara, icil 2, yang Debo jadi juara, sampai icil 3, yang Lintar sebagai juara, aku selalu ngikutin. ngefans sih. Sebenarnya sih, karna liat my sweet boy, Gabriel. Dari situ, langsung rajin nonton ic biar bisa liat Gabriel. Tapi nggak lama, aku malah ketagihan dan suka sama semua anak ic. Kalau mau tahu nama-nama lengkap anak idola cilik, silahkan baca:

01 Abner (Abner Mekry Karompis)

02 Agni (Agni Tri Nubuwati)

03 Ozy (Ahmad Fauzi Ardiansyah)

04 Alvin (Alvin Jonathan Sindhunata)

05 Ify (Alyssa Saufika Umari)

06 Deva (Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra)

07 Debo (Andryos Ariyanto)

08 Angel (Angelica Martha Pieters)

09 Shilla (Ashilla Zahrantiara)

10 Bastian (Bastian Bintang Simbolon)

11 Cahya (Cahya Ningrum)

12 Cakka (Cakka Kawekas Nuraga)

13 Daud (Daud Waas)

14 Dea (Dea Christa Amanda)

15 Irsyad (Fakhrul Irsyad)

16 Irva (Fauzia Irva Lestari Gunawan)

17 Olin (Fridollin Djorebe)

18 Keke (Gabriel Angeline Thalita Pangemanan)

19 Gabriel (Gabriel Stevent Damanik)

20 Gita (Gita Dwi Charni)

21 Goldi (Goldi Sena Prabowo)

22 Lintar (Halilintar Mahaputra Edi Morgen)

23 Iyan (Kusnandiyansyah)

24 Nyopon (Marcliff Nyopon Korompis)

25 Rio (Mario Stevano Aditya Haling)

26 Ray (Muhammad Raynald Prasetya)

27 Nova (Nova Chintya Sinaga)

28 Dayat (Nur Wahid Hidayat)

29 Obiet (Obiet Panggarahito)

30 Oik (Oik Cahya Ramdlani)

31 Olivia (Olivia Ruth Tiurmaida Pasaribu)

32 Ourel (Ourel Queen)

33 Patton (Patton Otlivo Latupeirissa)

34 Rahmi (Rahmi Amalia)

35 Sion (Raja Sion Naimbaton Simbolon)

36 Riko (Riko Anggara)

37 Rizky (Rizky Maulana)

38 Kiki (Rizky Patrik Egetan)

39 Osa (Rosalin Abhi Prawesti)

40 Septian (Septian Putra Manuel)

41 Siti (Siti Nur Qomaria)

42 Sivia (Sivia Azizah)

43 Zahra (Zahra Damariva)

44 Zevana (Zevana Arga Ane Angesti)

TARRRAA!!!

hapal kan? hehehehehe :D

Sabtu, 20 November 2010

Jangan Putus Asa :)

qW pusing + bingung deh. kenapa sih orang-orang ini pada cepet banget putus asa ? cepet banget nyerah ? pikiran kalian pendek amat sih. masa nyerah cuma karena ada masalah ? qW ngerti, masalah kalian berat, masalah kalian besar. tapi jangan nyerah gitu dong. asal kalian tw, d.luar sana, masih banyak orang-orang yg sengsara, yang setiap hari punya masalah. masih banyak orang-orang yg kelaparan, yg gga punya apa-apa, yg tiap hari makan dari tempat sampah. ada yg punya kekurangan, ada yg cacat fisik, dan juga, ada orang yg udah tahu sisa umurnya sedikit. apa kalian kira masalah mereka enteng ? coba liat mereka, mereka gga putus asa kan. mereka selalu semangat jalanin hidup. jangan kalian kira, masalah kalian adalah masalah terbesar di dunia ini. jangan nyerah gitu,dong. asal kalian tw juga, bnyak ibu-ibu yg keguguran kehilangan jabang bayinya, bnyak keluarga yg d.tinggal prgi sma saudaranya untuk selamanya. mereka perlu satu nyawa. buat orang yg mreka sayang. tapi kenapa kalian yg punya "satu nyawa" itu, malah nyia-nyiain ??? kenapa kalian malah mau habisin "satu nyawa" itu ? jangan liat dari segi negativ, liat dari segi positiv. liat, walawpun kalian punya masalah, tapi kalian juga punya orang-orang yg sayang sama kalian. jangan ngira, semua orang benci sama kalian. bnyak kali orang yg sayang sma kalian. orang tua, sahabat, keluarga. apa kalian harus buat mereka sedih cuma karena kalian putus asa secepat ini ? kalian tw lagunya d'massiv yg "jangan menyerah" ? atau,, lagunya idola cilik 3 yg "jangan putus asa " ? dengerin deh liriknya. pasti kalian bakal sadar, hidup itu penuh bahagia. gga ada orang yg gga punya masalah. jangan putus asa,lah. tetap semangat jalanin semua. ingat aja motto hidup qW :: jangan biarkan air mata orang yg kita sayang netes karena kita, tapi, biarkan mereka tertawa dan tersenyum bahagia karena kita so, kalau kalian nyerah dan mau,, bunuh diri ? *nulis aja serem* pasti kalian bkal buat orang yg kalian sayang nangis kan ? jangan biarin gitu,dong. ayolah kawan. moga aja kalian, yg baca note aqW ini bisa ngerti. hidup itu, adalah sebuah catatan indah tentang kita. buat hidup kalian bahagia. enjoy aja,Lah. qW yakin kok, selama kita berdoa dan berusaha, semua bakal baik-baik aja. tetap optimis !!! semangat dan tersenyumlah !!!! =D

Jumat, 15 Oktober 2010

09.10.10 : hari terindah :)

09.10.2010

Hari yang nggak bakal aku lupain. Di mulai dari sekolah, aku sampai keliling sekolah nyyari temen buat nonton the virgin. Akhirnya… nggak dapet -,-

Terus, pulang-pulang langsung molor aja. pas dengar adzan, langsung cepat-cepat bangun. Ambil handuk, lari ke kamar mandi. Abis itu, sholat :D . berdoa, semoga hari ini berjalan sukses. Semoga aku bener bisa ketemu mita the virgin. Semoga, saat di perjalanan maupun saat nonton nanti, aku di beri keselamatan dan di bawah perlindungan-Nya. Dan aku selalu berdoa, semoga bakal ketemu !

Terus, aku sempet kepikiran mau ngasih k mita kado. Sempet keliling nyari. Bagusnya apa. Sempet kepikir mau kasih jaketku itu. Ah !! tapi itukan jaket bekasku. Gga penting amat -,- ngasih baju, mana ada uang aku beli baju yang bermerek gitu. Masa baju kaos biasa, gga sebandingkan sama baju-baju yg biasa k mta pake. Sempet kepikiran mau ngasih poto-poto kak mita yang aku rangkai-rangkai (?) pokoknya kumpulan poto k mita ku jadiin satu. Tapi… mana cukup waktunya. Udha jam berapa ini !??!?! dan akhirnya… ngga ngasih apa-apa -,-

Terus, pas udah siap semua, aku nelpon melvinda. Eh… dianyya masih di rumah. Terus, nelpon Royan, coba-coba ngajakin dia, siapa tahu mau. Kan supaya ada temen. Eh… dia di telpon malah nggak di jawab mulu -,- akhirnya aku pasrah deh, pergi sendiri.

Abis itu, beli pulsa, dan bertongkrong di simpangan buat nyari angkot. Karna gga pernah ke bsb naik angkot, aku nggak tahu naik angkot apa. Angkot nomor tiga aja aku stopin. Eh… kata omnya, “oh, bukan dek, “ padahal, aku udah naik satu tangga ! malunya ai. Kedengaran omnya, aku bilang BC pdahal BSB. Odong ! terus lamaaa banget akhirnya ada angkot nomor lima. Kalau yang ini aku bilang, “ pasar baru, “ dan siippp. Pas udah duduk manis di angkot, dan angkot mulai jalan. Hape geter, si akbar sms, “ ngapain lu nongkrong di persimpangan “ heh ? tahu darimana ni orang. Karna pulsaku belum masuk-masuk juga, kaga di balas.

Terus, pas udah sampai pasar baru, si om angkot nanya, “ pasar baru mana de ? “ aku jawab aja, “ terus aja om, “ padahal, aku nggak tahu apa-apa -,- ternyata, si om angkot itu mutar. Aku bingung. Eh, dia malah ke terminal. Terus sampai terminal, omnya nanya, “ pasar baru mana sih de ? jangan-jangan udah lewat, “ aku jawab, “ nggak kok om. Emang ini nggak sampai bsb ya ? “ si omnya malah ketawa -,- “ kalau itu harus naik dua angkot de. Tuh, angkot yang nomor tujuh di depan itu. Terus bilang, stal kuda, “ eh, si om angkot ngajarin aku sambil nunjuk angkot warna ijo tua. Aku nurut aja, sambil ngasih uang en ngomong makasi, aku ngacir ke ntu angkot yang tadi di tunjuk om angkot. Udah adzan woi ! nanti aku telat ! pas aku bilang stal kuda, omnya ngangguk. Masuk dah saya. Eh ternyata, namanya di terminal, pasti si angkot mau jalan kalau penumpangnya udah penuh. Shiitt !! aku nunggu lagi. Adzan sampai udah selesai. Aku udah panic sendiri. Sempet ke pikiran lari aja dari terminal ke bsb. Tapi aku juga nggak tahu tepat di mana bsb itu. Aku kalau ke sana nggak pernah merhatiin jalan sih.

Eh, waktu dapat penumpang, penumpangnya gede bangt badannya. Waktu dia masuk aja, angkotnya sempet miring -,- . ternyata si om angkot belum puas, jadi nunggu lagi. Ihh !!! rasanya aku pengen nginjak ntu gas tahu !!!! gga lama, ada penumpang, udah bersorak tuh. Eh ternyata, penumpangnya satu gerombol ! cowok semua, kira-kira ada… lima atau enam gitu. Aku sampai mepet ke cewek di sebelahku, karna sempit-sempitan. Dan di perjalanan,bbeeehhh… sempitnya ! dan gerombolan orang-orang itu aneh banget -,-. Masa ngomong bahasa bugis, tapi logatnya jawa o.O, kadang, bahasa bugis sama jawa di campur. Bingung amat aku dengernya. Tapi mereka satu sama lain tetep nyambung. Gaeng -_-“

Pas udah depan bsb, aku cepet-cepet bilang “STTOOOPPP “ omnya nginjak remnya lama lagi, jadi jauh dari zebra cross ! uhh !!! aku langsung cepet-cepet pergi aja. udah jam berapa ini !?!?!??! terus, aku cepet-cpet masuk. Dan pas di pintu masuk jangan lupa bilang, “ bismillahirrahmannirrohim. Moga ketemu, “ ahay ! aku langsung cepet-cepet ke panggung. Belum mulai -,- terus, kelilingin panggung, nyari Melvinda. Sampai berkali-kali. Di liatin orang-orang lagi,. Di kira anak ilang kali aku ya =”= . sekalinya, waktu liat kumpulan MRz, aku liat Windy ! langsung aja Windy ku samperin, dan yang di bilang Windy, “ aih… kamu telat. Tadi ada bang Rio di sini, “ huuaaapppa ?!?!?!?!? terus, si Windy nunjuk baju mba-mba ( lupa namanya ) anak MRz, bajunya putih, dan ada tanda tangan bang Rio !!!!! ternyata ada sebelum aku datang. Iiihhhh…. Ini gara-gara nyari angkot aja ! terus juga gara-gara angkot sialan itu ! pake lama segala nunggunya !

Dah, aku dapat di depan panggung. TEPAT di depan standing mik !!! kan k mita pasti berdiri di standing mik tuh, aku berdiri di depan situ. Aku nelpon Melvinda lagi, ternyata dia masih di rumah -_-‘ terus, karna pulsaku akhirnya datang, aku nelpon Ersa ! hahaha. Pamer kalau dapet tempat di dpan panggung. Eh, si Ersa malah berdoa, “ semoga k mitanya nggak ada… “asrot ! kasian juga ada di rumah :P .

Gga lama, si Windy pergi, ngumpul sama MRz, aku nggak ikut. Nggak bakal rela tempat strategis ini di ambil orang ! :P . gga lama, ternyata Windy sama MRz di depan tangga panggung, tepat di tengah panggung. Aku di situ aja, sama mba-mba yg dpet tanda tangan bang Rio tadi, sama… siapa gitu. Nila kah Mila, lupa saya ! anak MRz juga. Nggak lama, ada seorang ibu jawil aku dari belakang, aku noleh. Ternyata dia mau nitipin anaknya. Supaya anaknya aman di depan. Ya udah, aku taro aja dia di depanku. Anaknya lucu sih ! cewek. Nggak lama, mba mc, keluar. Pada heboh. Dan bla bla bla bla. Lama amat ngomongnya -,- . aku sama yang mba baju putih, dan anak MRz di sebelahku itu teriak, “ the virgin, the virgin, the virgin, “ eh, yang lain ngikutin. Mba mc kicep deh ! wkwkwkwk. Lamaaaa banget sampe kakiku keram. Nggak lama, eh, maksudnya satu setengah jam kemudian. Di belakang panggung pada heboh. Aku, sama mba yg bju putih, ngintip-ngintip, sampai lompat-lompat buat liat. Dan mba baju putih tiba-tiba histeris, “ itu mittttaaaa “ huuuaaahh… semua pada noleh ke belakang panggung. Padahal ada orang lagi nyanyi di atas panggung ! eh, penontonnya malah focus ke belakang panggung. Mba baju putih bilang lagi, “eh, serius itu mita ! pake baju kotak-kotak ! suer !” refleks, aku teriak histeris, ke arah belakang panggung. Padahal, aku belum liat apa-apa -,- aku Cuma liat banyak polisi. Udh itu aja.

Gga lama, nunggu beberapa menit lagi. Penonton mulai gelisah. Nggak lama kok jadi tambah sempit ya -,- ternyata di dorong-dorong dari belakang. Si om bodygardnya, ngeliat anak kecil yang tadi di titipin ke aku. Terus, bilang, biar dia maju aja. jadi, si anak kecil ngelewatin pita yang melintang – tidak indah – di bibir panggung, terus, dia di suruh duduk di bibir panggung, kan ada kursi tuh. Tapi malah nggak mau. Ih… aku bilang ke omnya, “ om, saya aja om. Saya masih kecil juga kok” omnya nggak meduliin. Sialan !

Gga lama, ada orang yang keluar panggung, aku pikir bang aang, aku udah teriak aja, eh, salah orang =”= gga lama, ada yang keluar lagi, nyetel-nyetel gitar gitu. Aku histeris, padahal belum ada the virgin -,- tapi gga peduli. Aku teriak aja, dan bener kan ! bang ijal sama bang aang keluar !! huaaahhh… terus ngga lama, bang Rio keluar !!!!!!! semua pada heboh. Dan dengan spontan aku teriak, “ bang Rio, I love you…. “ wkwkwkwk. Eh, di belakang udah mulai dorong-dorong. Anak kecil di depanku, langsung di ambil ibunya dan keluar. Gga lama, suara gitar kedengeran beserta seorang perempuan keren nan menawan pake baju kotak-kotak kuning keluar, semua pada teriak histeris. KAK MITTTA !!!!! aku speechless sumpah ! di belakang dorong-dorong, aku nggak peduli. Tetep natap kak Mita. Alamak. Cakep banggeeettt… senyumnya ituloh. Terus neng dara juga keluar. Semua pada heboh. Pas udah sadar, aku cepet-cepet ngerekam. Karna tangan si om polisi itu ngalangin, dengan akal kancil, aku ngelewatin lewat bawah, jadi deh aku di bibir panggung ! tapi waktu itu pas ka mita di tengah panggung. Eneng juga. Belum juga satu menit, aku di tarik ke belakang sama om polisi ! uuhh… dan… kak mita menuju depanku !!! tepat di depanku ! kalau nggak ada om polisi, jarakku deket banget !!!! Cuma di pisah sama badan om polisi doang. Aw, aw, aw, aw. Terus, waktu music berenti gitu, kan si eneng ngobrol-ngobrol tuh, aku teriak-teriak, “ kak mita…. Kak mita… “ sambil ngelambai-lambai . kak mita nggak noleh juga, aku teriak lagi “ kak mita… di sini !!! “ aku ngelambai sambil loncat-loncat, padahal di belakang masih heboh dorong-dorong. Hehehe. Ngarep banget kak mita noleh. Tapi aku belum putus asa ! waktu itu aku poto-poto, bukan ngerekam, aku teriak mulu, dan… akhirnya kak mita noleh ! terus, aku nyengir, kak mita balas senyum !!!! ahhhh~ aku langsung speechless ( again ) dan dengan begonya, waktu kak mita senyum, kenapa aku gga mencet kamera ! bego.tapi tak apa, kak mita senyumin aku !!!! abis, itu si eneng noleh ke arah tempatku, aku teriak-teriak, “ neng dara !!! “teriaku sambil lambai-lambai. Si eneng senyum sambil balas ngelambai. Ah~ cantiknya. Abis itu, kan si eneng jalan ke tempat aku berdiri tuh, si k mita di tengah panggung, nyanyi, “ happy birthday to you… “kan e-walk emang lagi ultah. Terus, eneng tepat di depanku ! tepat ! aku manggil lagi, “ eneng !!! “ enengnya noleh, terus senyum. Aku ngelambai, si eneng balas ngelambai . ah ~ eneng~ . terus, si eneng, julurin tangannya gitu, semua pada heboh maju. Aku juga dong ! dan karna om polisi sialan itu. Dia ninggiin tangannya yang ngehalang kita. Karna badanku sama badan om polisi jauh banget, jadi nggak nyampe deh. Aku sampe loncat-loncat supaya dpet tgn eneng. Tapi tetep aja nggak bisa ! uhhhh :@

Terus, kak mita ngenalin satu-satu band the virgin. Bang ijal, bang aang, bang Rio. Terus, waktu bang Rio, semua pada heboh, termasuk aku :D . si ka mita bilang, bang Rio lagi jomblo, siapa yang mau, langsung aja aku teriak, “ aku !!!! aku !!! “ sambil ngelompat tunjuk tangan . hihihi. Om bodyguard depanku noleh, “ masih kecil ! “ ih !!! sewot. Terus, si bang Rio bilang, “ cewek-cewek Balikpapan yang jomblo, “ aku udah teriak histeris aja, eh, lanjutannya, “ tuh, temen saya yg pke baju merah, lagi jomblo juga “ gubrak !!! gga pduli saya. Aku maunya bang Rio. Bukan yg bju merah itu. Gga knal -,- terus, pas lagu jatuh cinta lagi, bang Ijal ke arahku terus, berdiri depanku !!!! pas di depanku. Tanpa polisi, tanpa bodyguard. Aku dongak, natap bang Ijal. Terus, aku poto :D. bang Ijal sempat natap aku. Terus senyum sekilas. Hehehe :D tinggal bang aang sama bang Rio aja yang belum senyumin aku. :)

Gga lma, ka mita sma eneng bilang, mau nyari dua orang cowok Balikpapan buat nyanyi bareng. Aku langsung heboh tunjuk tangan sambil teriak, “ aku cowo !!! aku cowok !! “ om bodyguard yang di depanku noleh, “ kamu cewek ! “ “gga,. Khusus malam ini cowok kok. “ :P aku masih heboh teriak, sambil angkat tangan, teriak-teriak juga. Dan… pas kak mita di sisi panggung depanku itu, kak mita ngeliat aku ! mataku sama kak mita bertemu ! hahahaha. Lamaaa banget. Atau aku yang ngerasa waktu berhenti ya ? aku nyengir ke arah kak mita sambil tunjuk tangan, “ aku cowok kak ! “ dan kak mita, senyum sambil geleng. Aaaahhhh !!! walaw nggak ngomong apa-apa, yang penting kak mita meduliin aku ! dia bales pake geleng. Hehehe. Terus, kak mita jalan lagi nyari. Hheemm… jadinya cowok deh yang naik ke atas panggung. :(

Terus, nggak lama, kak mita turun panggung ! dan dia jalan ke arah tempatku ! terus, dia berdiri di depanku ! semua pada heboh mau pegang tangannya. Aku julurin tangan, eh, si om polisi sialan itu berulah lagi ! dia naikin tangan. Aku jadi nggak liat kak mita. Karna muyak, aku langsung gigit aja ntu tangan gede ! huuaaahhhahhha. Terus, pas tangan om polisi turun, kak mita tepat di depanku. Serasa mau pingsan ! kak mita natap aku ! beneran ! aku julurin tangan lagi, kak mita kayak mau balas, tapi si om polisi kembali gangguin ! muyak betul ! ku kutuk juga nih polisi ! gga lama, kak mita Cuma senyum aja, terus naik lagi k atas panggung. Malangnya nasibku, :((

Terus, kak mita ngelempar pik gitar. Pas ke arahku, aku sempet lompat mau ambil, tapi ternyata gga dpet. Dan ternyata, begonya aku ! tuh pik gitar jatoh, belum ada yg dpet, dan jatohnya gga jauh dari aku, aku ngeliat, ternyata ada yang ngeliat juga, kita cepet-cepetan deh ngambil, sempet rebutan juga. Tapi karna dia cowok, aku jadi kalah tenaga. Shhhiiittt.

Gga lama, ka mita ngelempar botol aqua. Dan, pas lempar ke arahku, aku sempet dpet ! aku sempet megang ntu botol ! tapi ternyata sebelahku yang lebih kuat. Shiiittt… tapi tak apalah, aku udah sempet megang botol aqua yang sempet di pegang kak mita :P

Terus, kak mita buka jaketnya. Aku teriak, “ jaketnya lempar ke sini aja !!! “ om bodyguard depanku noleh, “seenakmu. “ yyeee… biarin. :P ternyata, jaketnya di kasih ke salah satu crew gitu. Terus, si bang Rio buka baju ! aw, aw, aw, aw. Sumpah ! keren banget ! kak mita naik ke atas drumnya bang Rio ! kerennyyyaa… kenapa hapeku lagi mati. Shiittt… jadi nggak bisa moto deh. Padahal keren banget. Penonton heboh lagi. Aku sempet ke tabrak besi penghalang. Ah !!! sakit !!!! dan akhirnya… the virgin selesai. Acara selesai.

Aku langsung nyari Windy lagi. Ternyata MRz mau ke pizza hut karna the virgin emang mau ke sana. Jumpa fans kalau nggak salah. Tapi, gga ada anak MRz lain . Cuma kita bertiga aja. jalan de, kita keliling nyari yg lain. Dpet. Di belakang panggung mereka. Ternyata mau ke hotel. Ahaay. Asek, asek, asek. Abis poto-poto, kita, MRz & Virginity dengan tertib dan terartur, ngikutin bang aris sama kak dep ke arah hotel. Pas di depan hotel, eh, ketemu Ira sama Marissa ! ckckck. Mereka ternyata nunggu di sana juga. Terus, om penjaga hotel bilang, “ ada apa ? “ kak depp jawab mau ktemu the virgin, “ udah ada janji ? “ kak depp ngangguk, dan bilang tadi udah nelpon teh mira, manager the virgin. Omnya masih ragu. Jadi lama lagi kita nunggu. Udah jam setengah sebelas. Pulang-pulang di penggal pasti aku . tapi aku masih belum putus asa. Gga lama, teh mira keluar, terus kak depp sama bang aris nyamperin dan ngomong tujuan kita. Dan… nggak bisa. Harus ada persetujuan dari MRz pusat. :(((

Udah, sambil diskusi kecil, kita duduk di depan hotel, ada kayak taman kecil gitu. Apalah. Jadi kita duduk di pinggirnya. Si Ira cs udah pulang. gga lama… ada yang keluar dari dalam hotel. Salah satu MRz bilang, “ eh, itu radja. Si moldi ! “ refleks, semua noleh. Sebenarnya aku emang udah liat dari tadi. tapi aku gga ngenalin -,- . semua pada lari gitu ke sana. Radja, masuk ke dalam mobil, aku manggil-manggil, “ melodi ! melodi ! “ eh, di geplak sama salah satu anak MRz, “ MOLDI “ aku Cuma nyengir, terus, kaca mobilnya di buka, moldinya poto-poto sambil jabat tgn orang-orang yang datangin dia. Aku ikutan aja. terus, jawab tangan moldi. Hehehe, the virgin nggak dpet, radjapun boleh. :D terus, aku kompak gitu sama om moldinya,. Hapeku mati sih. kalau gga, aku ajak poto tuh. Ada MRz yg bilang, kalau gga slah Dewi, bilang, “ weh, penghianat “ hehehe. Eh, gga lama, dia datengin juga om moldinya dan bilang, “ rajaners saya “ gubrak !!! sama aje -,-

Akhirnya kita nyerah. Gga bisa. Bener-bener nggak bisa. Si Windy nyariin aku angkot. Dapet, ke terminal. Jalan deh. Walaw, masih berat banget pergi dari sana.

Terus, stop bukan di terminal, tapi di depan kantor polisi yg dket bekapai. Beruntung, aku satu angkot sama ibu baik hati dgn dua anaknya. Kita-kita sama-sama turun, ibunya nanya aku, “ sendiri dek ? mau kemana ? “ aku jawab, “ iya. ke karang rejo, “ “satu angkot aja. yuk, sama-sama, “ waaww… baik banget. Terus, pas dpet angkot, si om angkot sempet ragu naikin aku :( terus, si ibu itu bujuk-bujuk. Hehehe. Baik. Ternyata omnya mau lima rebo. Ya okelah. Daripada gga dpet angkot. Terus, aku duduk di sebelah anak dua ibu itu. Duaduanya cewek. Dia nanya, “ kak… virginity ya ? “ aku senyum lebar, “ iya MRz juga “ “Daralovers ? “ “ pasti “ abis itu, kenalan deh di angkot :D

Pulangnya, tepat depan gapuraku angkotnya stop. Thanks. Aku langsung lari aja. jam sebelas woy ! pas udah di dalam, Alhamdulillah ada kakak temenku yang baru pulang kerja, jadi bareng deh. Ada temenya :D

Pulangnya, pelan, pelan, pelan. Dan dengan sangat teramat pelan, masukin kunci rumah, dan putar pelan-pelan. Masuk, tutup pintu, kunci lagi. Sukses ! gga ktewa. Masuk ke dalam kamar, ngisi batre hape. Pas idup, bah bertubi-tubi sms masuk. Dan isinya kebanyakan, “ KAMU DI MANA ?! “

Hehehe. Langsung banting badan di tempat tidur. Eh… malah nggak bisa tidur. Kepikiran kak mita mulu. Apalagi waktu k mita balas senyumku, atau waktu kak mita geleng ke arah aku. Semuanya kayaknya berjalan cepeeett banget. Ckckck. Abis liatin rekaman sama poto-poto tadi, coba tidur lagi, tapi tetep gga bsa ! pdhal badan udah pegel-pegel gra-gra d dorong-dorong. Nyerah deh. Nyalain laptop, dan ngetik smua ini :D

09.10.2010.

Hari terbaik untuk seorang Astri Maharani :)