Sabtu, 11 Juni 2011

Ketika Bintang Meninggalkan Bulan

17 Mei 2011

Aku menatap sendu laki-laki di depanku ini. Ia terbaring lemas dengan mata tertutup. Beberapa selang dan mesin-mesin yang aku tidak mengerti apa namanya itu di pasang di tubuhnya.Wajah ovalnya terlihat lelah. Dadanya naik turun pelan menandakan ia masih bernafas.

Aku terduduk di sisi tempat tidurnya. Ku raih perlahan jemarinya. Dingin. Ku genggam erat tangan kanannya. Seakan ingin memberikan seluruh kekuatanku untuknya. Kalau bisa pun, aku rela bertukar tempat dengannya sekarang. Aku rela…

Maret, 1998

Ibu menuntunku menuju ruang tamu. Aku yang saat itu belum genap 5 tahun, hanya menurut dengan kening berkerut. Ku dapati seorang wanita muda duduk di sofa ruang tamu. Di pangkuannya, duduk seorang anak laki-laki yang sedang tersenyum ramah padaku. Dengan canggung, aku balas senyumannya sambil mengikuti Ibu duduk di sofa yang berada di sofa yang mereka duduki.

“Bulan, ini Tante Manda. Kamu masih ingat?” suara lembut Ibu bertanya padaku.

Aku menatap wanita itu. Ia tersenyum. Aku mencermatinya, mencoba mengingat siapa dia. Tapi setelah beberapa saat, aku menggeleng pelan menjawab bahwa aku gagal mengingat siapa wanita bernama Manda itu.

Ibu tersenyum, “Tante Manda ini teman dekat Ibu dari dulu. Dulu, Ibu dan Tante Manda satu ruangan saat Ibu melahirkan kamu.”

Aku mengangkat alis dan mengernyitkannya. Satu ruangan?

“Tante Manda baru pindah dan sekarang tinggal di rumah sebelah. Jadi sekarang kamu bisa punya teman. Tuh, anaknya tante Manda,” ucap Ibu sambil menunjuk anak laki-laki tadi.

Aku sedikit melirik ke arahnya. Ia kembali melemparkan senyuman ramah membuatnya makin terlihat manis. Mata bulat beninganya berbinar cerah. Aku yakin, dia anak yang baik dan bersahabat. Wajah ovalnya saja terlihat selalu tersenyum ceria.

“Dia lahirnya hampir di waktu yang sama seperti kamu. Mungkin hanya berbeda beberapa menit. Dan kalian juga lahir di ruangan yang sama. Ibu dan Tante Manda juga sepakat memberi nama kalian dengan nama yang saling berhubungan,” jelas Ibu di akhiri dengan senyuman lembut khas Ibuku itu.

Aku makin mengerutkan kening sambil menatap Ibu. Tapi Ibu malah menyuruhku berkenalan dengan anak laki-laki itu. Aku diam sesaat, tapi menurut dan kembali menoleh pada anak laki-laki yang juga sedang menatapku itu.

Aku berdehem kecil, lalu menjulurkan tangan ke arahnya, “Bulan,” ucapku nama awalku.

Ia membalas tanganku sambil tersenyum, “Bintang.”

Juli, 2005

”BULAAANN!!!”

”Iya! Sebentar!!!” balasku sambil berlari keluar.

Ku lihat, ia tersenyum lebar di depan pagar rumahku dengan atribut MOS lengkap. Hari ini memang hari pertama MOS SMP kami.

”Bisa kan nggak usah teriak? Kayak di hutan aja,” gerutuku kesal sambil mulai berjalan.

Ia tertawa, lalu memandangi rambutku yang di ikat dua, syarat dari MOS kali ini.

”Eh, kamu lucu deh kalau di kuncir gitu,” komentarnya geli sambil memegang pita merah yang mengikat rambutku.

Aku hanya mendengus sambil terus berjalan. Dengan jahilnya, ia menarik rambutku sambil tertawa. Aku mengaduh, lalu menatapnya geram. Ia makin tertawa, lalu segera berlari menghindar.

”BINTAAANG!!!”

Akhir 2009

Hari ini aku dan dia berlari dari sekolah menuju rumah dengan seragam yang sudah basah karena air hujan. Ia menarik tanganku untuk mengikutinya bermain di tengah hujan. Sekolah kami memang tidak jauh dari rumah. Jadi kami selalu pulang berjalan kaki berdua. Tapi kini hujan menemani. Hujan hari ini seakan bersahabat. Tidak ada petir ataupun suara guntur. Awan gelap pun tidak menyeramkan seperti biasa. Hujan seakan ikut bermain bersama kami.

“Bulan, kamu tahu nggak kenapa aku suka hujan?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh, lalu menggeleng. Ia tersenyum, lalu mengadah wajah ke arah langit sambil memejamkan mata. Membiarkan rintik air dari awan itu membasahi wajahnya.

“Kalau berjalan di bawah hujan, aku bisa nangis sepuasnya. Nggak akan ada yang tahu kalau aku nangis. Karena air mataku akan menyatu dengan air hujan…”

Aku mengangkat alis. Aneh. Ada yang berbeda darinya. Kalimatnya itu. Pilihan kata yang jarang di pakainya. Dan kenapa aku merasakan perasaan tidak enak saat ia berkata seperti itu? Kenapa? Atau… Ada apa?

“Nangis aja kok pake’ ada hujan segala,” sahutku meledek.

Ia tertawa, “Aku itu udah SMA. Udah mau jadi seorang pria. Mana mungkin aku nunjukin air mataku. Itu berartikan aku lemah.”

Aku terdiam. Aku baru sadar, semenjak kelas 6 SD, aku memang tidak pernah melihatnya menangis lagi. Ia selalu saja mencoba tersenyum kalau sudah mendapat masalah ataupun cobaan. Jadi… selama ini ia selalu menangis bersama hujan?

“Bintang… Akukan sahabatmu. Kamu bisakan nangis di pundakku. Nggak perlu hujan segala,” ucapku tulus, “Dan juga… Memang apa yang kamu tangisin?”

Ia menghela nafas, tapi tidak menjawab dan hanya tersenyum. Aku kembali mengerutkan kening menatapnya dari samping. Aneh. Itu bukan senyumannya. Aku hafal. Sangat hafal. Garis wajahnya yang terlihat selalu tersenyum itu berubah. Binar cerah yang selalu ku temukan di sepasang matanya mendadak hilang. Tidak. Ia tidak sedang tersenyum. Tapi hanya menarik kedua ujung bibirnya. Seakan menyembunyikan sesuatu. Ada apa?

“Bulan! Rumahmu udah deket tuh! Yang pertama kali sampai di rumahmu, harus traktir!” ajaknya tiba-tiba.

Aku menganga heran. Tapi tanpa aba-aba, ia segera berlari menuju rumahku.

“Eh, Bintang!!!” panggilku segera berlari mengejarnya di temani hujan yang terus mengguyur tubuhku.

Awal 2010

Aku membuka mata perlahan. Mentari pagi seakan menyapaku dengan sinarnya yang datang melalui kaca jendela ruangan putih itu. Aku melirik tangan kiriku. Oh God… Ternyata semalam itu bukan mimpi. Infus ini memang terpasang semenjak semalam. Maag ku kembali kumat. Dan tadi malam Ibu segera membawaku ke UGD karena aku sempat pingsan. Ya beginilah aku kini. Dengan infus yang terpasang di tangan kiriku dan tubuh lemasku yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit ini.

Aku mendesah pelan dan menoleh saat mendengar suara pintu terbuka.

“Sudah bangun?” Tanya Ibu sambil melangkah masuk. Ia lalu berjalan ke ujung tempat tidurku. Aku bisa melihat troli yang berisikan makanan untuk sarapan pagi ini.

“Bu… Bintang belum datang?” tanyaku lemas. Entah mengapa aku sangat membutuhkannya sekarang.

Ku lihat, Ibu seperti tersentak kaget. Ia menatapku sejenak, tapi kemudian kembali melukiskan senyum lembut di wajahnya, “Belum… mungkin besok.”

“Besok? Kenapa besok?” protesku dengan suara parau.

Ibu mendesah, “Bintang ada urusan keluarga. Pagi-pagi sudah dia dan keluarganya pergi. Tapi dia dan Tante Manda titip salam buat kamu. Katanya cepat sembuh.”

Aku mendecak dan membuang wajah kesal, “Bulankan mau Bintang ada di sini Bu. Temenin Bulan…” ucapku lirih.

“Bulan… Kalau bisa Bintang juga pasti ada di sini. Tapi…” kalimat Ibu berhenti. Ibu menghela nafas, lalu melanjutkan, “Sekarang kamu sarapan dulu aja ya. Kan ada Ibu di sini…”

Aku menarik nafas, dan menghembuskannya perlahan. Merasa kecewa. Kenapa dia tidak ada saat aku sangat membutuhkannya?

***

Air mataku hampir saja menetes saat berkemas meninggalkan kamar inap rumah sakit ini. Aku sudah di rawat empat hari di sini. Dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Malam inipun, hanya ada aku, Ibu, serta Ayah. Ibu dan Ayah sedang keluar ruangan mengurus sesuatu. Entah apa. Dan kini, hanya ada aku sendiri.

Aku menghela nafas, lalu melangkah pelan menuju jendela ruangan ini. Ku buka perlahan kaca jendela. Langit malam tidak bersih kali ini. Ribuan bintang bertabur di sana. Dan bulan juga ikut hadir malam ini. Indah. Tapi kenapa aku tidak seberuntung bulan itu? Ia tidak sendiri. Ia di temani para bintang. Sedangkan aku? Kini aku hanya sendiri. Aku hanya Bulan yang sendiri, tanpa Bintang di sisiku…. Di mana dia? Kalau begini, apa gunanya seorang sahabat? Sahabat itu selalu ada kalau aku sedang jatuh seperti ini. Aku butuh dia...

Suara pintu di buka membuatku tersadar dari lamunanku. Aku tidak menoleh. Itu pasti Ibu. Suara langkah kaki mendekat mulai terdengar. Aku hanya diam sambil terus menatap langit malam.

“Bulan…”

Mataku melebar. Aku menoleh ke kanan, mendapati dirinya yang kini berdiri di sampingku. Ia tersenyum tipis.

“Maaf… aku baru bisa datang….” ucapnya menyesal.

Aku menghembuskan nafas keras sambil membuang pandangan ke langit kembali, “Kemana aja kamu? Aku butuh kamu. Tapi kenapa kamu nggak ada?” protesku dengan suara lirih.

“Maaf. Aku tahu aku salah. Maafin aku Bulan…” ucapnya dengan suara memohon.

“Kenapa kamu nggak pernah telpon aku? Atau hubungi aku? Aku sangat butuh kamu Bintang…” ucapku bergetar.

Ia menghela nafas sambil menunduk. Tapi kemudian ia menoleh padaku sambil tersenyum, “Aku udah titip salam kok sama bintang di langit. Aku udah nyuruh mereka semua untuk jaga kamu kalau aku nggak ada. Tenang, Lan…. Aku selalu ada buat kamu kok. Kalau aku nggak bisa ada di samping kamu, kamu lihat aja bintang-bintang di langit. Semoga mereka bakal bisa jadi penggantiku nanti…”

Aku tersentak kaget, lalu menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. Kenapa aku merasa ada yang aneh dari kalimat terakhirnya? Entah apa. Tapi aku merasa kesal dan sedih mendengar ucapannya. Aneh.

“Aku sama kayak bintang di langit. Mereka kadang nampakin diri, tapi terkadang juga nggak kelihatan. Tapi kamu harus tahu, mereka selalu ada di sana…” ucapnya sambil menatap taburan bintang di langit.

Aku makin mengerutkan kening, “Kamu ngomong apa sih Bintang?”

Ia tersenyum kecil, “Udahlah. Nggak usah di bahas. Ayo kemasi barangmu,” ajaknya lalu berbalik.

Aku masih mengerutkan kening. Perlahan, aku bisa merasakan perasaan aneh menghantuiku.

Mei 2011

Aku menunduk sambil memejamkan mataku. Takut akan apa yang terjadi selanjutnya. Ia berdiri di sampingku. Menggenggam erat tanganku dan juga memejamkan matanya. Kami berdiri di lapangan sekolah. Menunggu pengumuman kelulusan. Di mana saat kami akan melepaskan seragam sekolah. Dan beranjak menjadi seorang mahasiswa!

Sesuai dugaannya, ternyata benar. Tahun ini sekolahku lulus 100%. Kami semua bersorak gembira, bahkan ada yang sampai menangis haru. Aku memeluknya. Senang sekali. Ia juga balas pelukannku sambil tertawa riang.

Esok malamnya, aku mengadakan syukuran kecil atas keberhasilan ini. Sekaligus merayakan ulang tahunku yang ke 18. Hari ini, biasanya ia selalu datang pagi benar, membangunkanku dan memberikan kejutan ulang tahun. Padahal ia juga berulang tahun di hari yang sama. Kami lalu merayakannya berdua. Tapi tahun ini, entah kenapa aku belum melihatnya. Kemana dia? Sampai acara di mulai seperti inipun dia belum datang.

Aku menatap kesal jam dinding di ruang tamuku. Kemana dia? Kue ulang tahun sudah hadir di tengah ruangan. Lilin angka 18 pun sudah menunggu untuk di nyalakan. Tapi dia belum datang. Aku mana mungkin mau meniup lilin itu sendiri tanpa dia yang biasanya selalu bersamaku meniup lilin ulang tahun.

Ibu memanggilku, menyuruhku untuk bergegas menuju tengah ruangan, karena teman-teman yang lain sudah menunggu. Aku melengos, dan dengan langkah gontai berjalan dari pintu menuju tengah ruangan. Aku menatap teman-temanku yang tersenyum padaku. Aku mendesah, lalu menatap lilin yang mulai di nyalakan oleh Ibu.

“Bu… tunggu Bintang sebentar lagi,” pintaku berbisik.

Ibu tersentak, lalu menoleh ke arahku dengan alis terangkat. Aku sedikit mengerutkan kening melihat ekspresi wajah Ibu yang asing. Yang tidak pernah ku temukan sebelumnya.

“BULAN!!!”

Suara itu membuatku segera menoleh dengan senang. Dia datang!

Ia berlari dengan nafas terengah-engah menuju tengah ruangan. Aku tersenyum ke arahnya. Tapi ku lihat… ada yang berbeda dari penampilannya kali ini. Dan... kenapa wajahnya terlihat pucat?

“Bintang? Kenapa kamu…” kalimat Ibu terhenti saat mataku bertemu mata Ibu. Ibu terdiam. Seakan tidak ingin aku mendengar kalimat lanjutannya.

Ia tersenyum, lalu berdiri di sampingku. Nafasnya masih terengah-engah, “Kamu mau tiup lilin tanpa aku?”

Aku mencibir kesal, ”Aku nunggu kamu dari tadi!”

Ia tersenyum. Lalu selanjutnya, Ibu menyuruh kami meniup lilin. Kami menurut. Aku dan dia memejamkan mata kompak di depan lilin yang menyala itu. Mengucapkan harapan masing-masing. Saat membuka mata, dengan serempak aku dan dia meniup lilin angka 18 itu.

BUKK!!!

Aku terlonjak kaget, lalu menatapnya yang kini sudah terjatuh dan tergeletak lemas di sampingku.

“Bintang!”

***

Ya. Inilah sekarang. Aku dan dia. Berdua. Di ruangan serba putih ini. Dengan dia yang kini terbaring lemas dengan wajah lelah dan mata tertutup. Dan aku yang duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya.

Aku yakin ini mimpi buruk. Pasti mimpi buruk. Mana mungkin ini terjadi. Ibu dan Tante Manda baru saja menjelaskan semua. Bintang mengidap kanker darah semenjak kelas 1 SMA. Dan semua itu di rahasiakan dariku! Jadi selama ini hanya aku yang tidak tahu apapun!

Aku ingin marah dan mengamuk, tapi tenagaku sudah habis karena terus menangis. Bagaimana bisa ini terjadi? Bintang. Seorang Bintang. Yang selalu tersenyum ceria dan menjahiliku, ternyata memiliki penyakit mematikan seperti ini. Selama ini ia menghilang itu karena berobat dan terus melakukan cek darah. Bintang yang meminta agar Ibu dan Tante Manda tidak memberitahukan ini padaku. Ia tidak ingin melihatku sedih. Bodoh! Kalau begini, aku beratus kali menjadi lebih sedih.

Aku menyesal, sangat menyesal. Padahal selama ini aku terus menuntutnya agar selalu di sampingku. Agar selalu menjagaku. Selalu di sampingku kalau aku membutuhkannya. Aku menuntutnya macam-macam. Tapi dia? Yang ternyata lebih lemah dari aku, tidak pernah sedikitpun mengeluh ataupun memaksaku selalu menemaninya. Dia tidak pernah melakukan itu. Malah, ia selalu tersenyum dan menyemangatiku. Harusnya itu yang aku lakukan padanya! Aku bodoh!

“Bulan…”

Sebuah suara parau membuatku mendongak. Ia tersadar. Menatap wajahku yang sudah kuyu dan basah air mata. Ia tersenyum getir, lalu mengusap pipiku yang basah.

“Makasih ya. Selama ini kamu menjadi sahabat terbaikku…” ucapnya lemas.

Air mataku makin mengalir deras. Ku genggam erat tangannya. Tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menyahut perkataannya itu.

“Aku bintang… Dan bakal jadi bagian di langit. Aku bakal jaga kamu dari sana kok…” ucapnya lemah. Ia lalu tersenyum pahit, “Kamu harus tersenyum walau nggak ada aku ya…”

Aku menunduk, membiarkan tangisku meledak. Makin ku genggam jemarinya yang terasa dingin.

“Bulan… Aku mau tidur lagi. Bilang sama Ibu kamu dan Mama aku ya. Aku mau tidur dulu…” ucapnya lirih.

Aku segera mendongak, “Bintang!”

Ia mendecak, lalu menaruh telunjuknya di depan mulut, “Ssssttt… Aku mau tidur dulu. Jangan ribut. Dan jangan bangunin aku dulu ya. Aku benar-benar udah capek…”

Aliran bening dari mataku makin deras. Tapi aku hanya diam sambil menatapnya. Ia tersenyum, lalu dengan perlahan menutup sepasang matanya. Aku menangis kembali. Mungkin persediaan air mataku terlalu banyak. Karena sedari tadi menangis tapi tidak berhenti juga ia mengalir keluar.

Setelah beberapa lama, aku mencermati Bintang. Ada yang berbeda. Dadanya tidak naik turun seperti tadi. Ku raba nadinya, berharap setengah mati aku bisa menemukan detak jantungnya. Nihil. Aku tidak merasakan apapun. Dengan panik, aku segera memanggil dokter.

***

Dia pergi. Benar-benar telah pergi. Meninggalkanku sendiri. Di sini. Hanya sendiri.

Aku mendongak, menatap langit malam. Mengamati bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. Aku mendapati bintang paling terang di langit. Yang berada di samping bulan. Aku yakin itu dia.

Aku mencoba melemparkan senyum, berharap menunjukkan padanya bahwa aku kuat tanpanya. Karena aku yakin, kalau ia tahu kondisiku sebenarnya, ia pasti akan sedih di sana. Dan sekarang aku mencoba menikmati hariku dengan senyuman, sama seperti apa yang ia lakukan dulu. Tapi aku percaya satu hal, walaupun ia tidak ada, ia selalu ada di sana… tersenyum bersamaku.

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Astri Maharani

Tempat, tanggal lahir : Balikpapan, 13 MEI 1996

Sekolah : SMP Negeri 3 Balikpapan

Alamat : Jl. Dr soetomo, No.20

Sumber Rejo, Balikpapan

Kode Pos : 76124

Pengalaman menulis : Mulai menulis sastra semenjak SD,

dan mulai gemar saat memasuki bangku SMP. Semenjak satu tahun lalu, menjadi seorang penulis Fan Fiction di komunitas Icilovers. Memiliki sejumlah cerbung, cerpen, dan naskah novel.

No. Hp : 085654912883

Tidak ada komentar:

Posting Komentar